Tunggulah aku tiba di hadapanmu dengan sekantung hujan dari musim kesepian yang meraung-raung di bilik jantung. Bahwa sebagian tubuhku yang jauh darimu adalah dirimu sendiri; yang kaucintai sekeras tebing-tebing batu, selembut angin lembah, sederas arus darah yang tak mungkin kauhentikan.
Kutunggu kau tiba di hadapanku dengan segurat senyuman yang terbuat dari semburat matahari pagi; helai demi helai menyentuh tubuhku seperti lembut angin yang menahan getir sepi sendirian di negeri yang sedang ketar ketir bergelut dengan musim pandemik dan polemik politik.
Biarkan saja rindu berkecamuk di dada kita yang tabah. Biarkan saja kebencian bermain intrik. Bukankah masa silam telah mengajarkan kita cara menghadapi perkabungan, sebesar apapun detum jantung kita, tak akan pernah memadamkan ingatan kita. Di sini, aku dingin malam yang menemani kesepianmu, dan kau hangat pagi yang meredam kemarahanku.
Di mana pun kita berada, lengang selalu bersiasat dalam rintik hujan. Percik demi perciknya akan meracik kenangan di kepala kita sebagai tokoh-tokoh fiksi yang merindukan penulisnya untuk membuat sebuah pertemuan. Barangkali siklus sunyi akan berakhir dan memecahkan jarak berkeping-keping menjadi dekap dan kecup.
Yogyakarta, 2020