SIKLUS SUNYI

PUISI

Tunggulah aku tiba di hadapanmu dengan sekantung hujan dari musim kesepian yang meraung-raung di bilik jantung. Bahwa sebagian tubuhku yang jauh darimu adalah dirimu sendiri; yang kaucintai sekeras tebing-tebing batu, selembut angin lembah, sederas arus darah yang tak mungkin kauhentikan.

Kutunggu kau tiba di hadapanku dengan segurat senyuman yang terbuat dari semburat matahari pagi; helai demi helai menyentuh tubuhku seperti lembut angin yang menahan getir sepi sendirian di negeri yang sedang ketar ketir bergelut dengan musim pandemik dan polemik politik.

Biarkan saja rindu berkecamuk di dada kita yang tabah. Biarkan saja kebencian bermain intrik. Bukankah masa silam telah mengajarkan kita cara menghadapi perkabungan, sebesar apapun detum jantung kita, tak akan pernah memadamkan ingatan kita. Di sini, aku dingin malam yang menemani kesepianmu, dan kau hangat pagi yang meredam kemarahanku.

Di mana pun kita berada, lengang selalu bersiasat dalam rintik hujan. Percik demi perciknya akan meracik kenangan di kepala kita sebagai tokoh-tokoh fiksi yang merindukan penulisnya untuk membuat sebuah pertemuan. Barangkali siklus sunyi akan berakhir dan memecahkan jarak berkeping-keping menjadi dekap dan kecup.

Yogyakarta, 2020

Apakah Sunyi

PUISI

Deru roda kereta baru saja kudengar, melintas dari timur ke barat sebagai kebisingan yang cepat berlalu, di sana cinta berlaku sebagai suara. Sunya masih berdiam di pelukan langit senin seraya memandang kopi hitam yang masih penuh dan tak hangat lagi seperti kita.

Cinta adalah suara merdu yang tak menampakkan wujudnya ke hadapan kau dan aku. Kita hanya pendengar yang seringkali mengeluh dengan pertanyaan-pertanyaan ragu. Apakah sunyi hendak kaulepaskan ke jantungku?

Sorowajan, 2019

DUNIA BERGERAK

PUISI

Dunia sedang bergerak

jiwamu pagi yang sejuk,

menyimpan mimpi-mimpi

para ksatria yang terbangun

saat tubuhmu menebarkan

aroma lembut embun.

Mereka mulai berjalan

menuju puncak menara

di tempat-tempat ibadah

demi cinta, katanya

sembari menghunjam

senjatanya ke dadamu.

Dunia terus bergerak

jiwaku malam temaram

terpaku menahan ngilu

dari cinta yang bisu

saat matamu terbit

tepat di puncak jantung

membakar langkah

dan masa depan

jadi sebongkah batu

hitam sebagai prasasti

yang luput dari takdirku

dan takdirmu

Apalagi yang ingin kita telusuri dari pertanyaan-pertanyaan

yang mestinya cuma bisa kita tunggu seperti pengunjung kafe

yang setiap hari berganti rupa, tapi kita tetap duduk di sisi

meja masing-masing dengan luka lama yang sama.

Apalagi yang mesti kita jawab dari teka-teki tuhan

yang mestinya kita hadapi saja seperti pesanan secangkir kopi

tiba-tiba ada di atas meja, dan kita hanya perlu meneguknya

pelan-pelan hingga duka larut di dada kita sebagai pelukan.

Apalagi yang mesti kita tunggu dari hari ke hari berlalu

yang mestinya kita nikmati seperti lagu yang kita dengar

dan kita nyanyikan untuk mereka, tanpa peduli jika

lirik-liriknya adalah pisau untuk diri kita sendiri.

Apalagi yang kita nanti esok hari

selain sembuh dan mati?

Yogyakarta, 2019

PUISI

PADA BAYANG API

PUISI

Pada bayang-bayang api

ada kata-kata lain untuk cinta

tuhan menyatukan nasib

di berahi maut sebuah hari

pada sajak-sajak lampau

sebagai jamuan pagi

saat sunyi bermula dari matahari

yang menyusut di matamu

Dan pagi hanya selaput cahaya

Agony yang dilukis Arshile

sebagai ajal yang diciptakan

diri sendiri

Yogyakarta, 2019

LA CONCERT

PUISI

Aku bayangkan usia

berwujud di kanvas

seperti takdir panggung

konser tanpa pemusik

hanya piano dan selo

berjejer seperti nisan

memperjelas komposisi

dentum, seperti suara

langkah kakimu

pecah di jalan sepi

sepanjang subuh

dalam bingkai cerita

yang tak pernah

dianggap selesai

kutangkap tubuhmu

yang semu itu

seperti usia De Stael

yang jatuh dari gedung

lantai ke empatbelas

merobek kain, memecah

warna pelangi di mataku

Yogyakarta, 2019

PAGI YANG PUPUS

PUISI

kepada Inez

aku menggapaimu

yang bertonggok

di leherku.

Rasa kehilangan

masih tumbuh

sebagai randu

Di musim tertentu

menjadi karib pada angin,

mesra pada sunyi.

Pagi telah pupus

sejak aku melihatmu

di luar jendela

sebagai gerimis

bangkai hujan terkapar

di sepanjang jalan kota,

aku masih menjadi tamu

dan mencarimu.

gerimis dan petang berlalu

menjauh seperti dirimu

sementara di pintu, maut

begitu tipis seperti kabut

pagi, menunggu kesedihan

selesai menulis

puisi-puisi untukmu

Yogyakarta, 2019

DI TANGKAI KACAMATA

PUISI

Ruang menerjemah keasingan

di bibir minus lensa dan kaca

yang merapal basah cuaca

Aku membaca getir tanda tanya

di ujung penantianmu

tapi kalimat adalah waktu

yang memahat wajahku

selalu ada rindu, selalu ada rindu

kata selembar bayangan

yang tanggal dari tubuh

kota itu dijatuhi cerita

saat sepi meninggalkan subuh

semua rahasia seperti suara hujan

yang merebah di tanah

kembali menjadi semula

menjadi tanda tanya

yang melengkung

di tangkai kacamatamu

Yogyakarta, 2019

PENJELAJAH WAKTU

PUISI

Hantu-hantu itu adalah masa silam

tiga puluh tiga tahun sekali kembali

menuntut yang tak harus kau lakukan

penuh penyesalan dan kekesalan

Tapi mereka telah menjadi kekal

seperti langit sore, tubuhmu terus menunggu

yang mustahil. Berdiri dengan wajah samar

dan jas hujan berwarna kuning

lusuh seperti daun yang lanjut usia

Kau menyesali saat seutas tali

meregang hayat rindu di malam

yang penuh mimpi buruk itu

seperti lorong yang harus ditempuh

untuk keluar dari masa kini

menjadi penjelajah waktu

Kesedihan tumbuh di tengah kota

kau memetik kemuraman demi kemalangan

orang-orang yang kauselamatkan

dari radiasi layar telepon genggam

yang disemat dalam seraut keinginan

dari jiwamu yang terpencil

Palembang, 2019