Sebotol Hujan untuk Sapardi

Cerita Pendek, PUISI, Tanpa kategori

Oleh: Joko Pinurbo

Saya jatuh cinta pada puisi gara-gara pada suatu malam, sebelum tidur, membaca seuntai kata dalam sebuah sajak Sapardi Djoko Damono: “masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi”. Waktu itu saya masih duduk di kelas 2 SMA dan belum punya cita-cita. Kata-kata itu terus menggema dalam kepala saya dan membuat saya semakin suka bersendiri bersama puisi. Sempat terbetik keinginan untuk ikut-ikutan menjadi penyair, tapi menurut sahabat dekat saya, kepala saya kurang abnormal untuk mendukung keinginan saya. “Lebih baik jadi teman penyair saja,” ujarnya dan saya mengiyakannya. 

Saya gemar mengoleksi buku puisi. Bila ada buku puisi yang hilang, saya akan mencarinya lagi di toko buku sampai ketemu. Pernah seorang teman meminjam buku puisi yang baru saya beli dan belum sempat saya buka. Diam-diam buku puisi itu ia berikan kepada pacarnya sebagai hadiah ulang tahun. Kepada banyak orang, teman saya itu sering mengungkapkan rasa bangganya karena berkat hadiah buku puisi darinyalah pacarnya tumbuh menjadi seorang pengusaha kata yang sukses dan kaya. Saya sendiri, sekian tahun setelah malam yang diguncang puisi itu, sudah menjadi seorang karyawan yang mapan di sebuah perusahaan di Jakarta dan saya tetap belum mengerti apa sebenarnya cita-cita saya. 

Kecintaan saya terhadap puisi masih terpelihara dengan baik. Di tengah kesibukan saya yang tiada habisnya, saya masih bisa mencuri waktu untuk menghadiri berbagai acara pembacaan puisi, minta tanda tangan dan berfoto bersama penyair-penyair kesayangan saya. Kadang saya membantu penyair-penyair dari daerah mencari tempat untuk sekadar numpang tidur dan mandi.  Ada satu impian lama yang ingin segera saya wujudkan: berfoto bersama Sapardi dan minta tanda tangannya. Sebenarnya saya pernah punya kesempatan bagus untuk berkenalan dengannya. Dalam sebuah acara pesta puisi Sapardi lewat persis di depan saya. Ia mengenakan kaos oblong putih bertuliskan “Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma”. Keren sekali. Sayang, dalam sekejap ia sudah diserbu oleh para penggemarnya dan saya tidak kebagian waktu. Selain itu, saya masih ragu untuk mendekat dan berhadapan dengannya. Saya takut ditanya, “Anda siapa ya?” Dan saya bukan siapa-siapa. 

Malam itu, sepulang dari lembur di kantor, saya sempatkan berbicara dengan diri saya sendiri. Dalam naungan hangat kopi, saya membaca tulisan Seno Gumira Ajidarma: “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”  Asu! Kepala saya langsung menggigil. Saya memerlukan miras (minuman waras) atau obat penenang untuk menghadapi bayangan kengerian menjadi tua di Jakarta. Saat itu juga saya mengontak teman saya, Subagus, yang kenal baik dengan Sapardi. Saya minta tolong Subagus untuk mencarikan kesempatan bertemu dengan Sapardi dan Subagus menyanggupi. 

Pada hari yang telah disepakati oleh Subagus dan Sapardi, hujan mengantar saya ke rumah penyair kurus itu. Saya lihat Sapardi sedang duduk khidmat di beranda mendengarkan suara hujan. Ia khusyuk sekali memperhatikan hujan menerpa daun bugenvil dan daun bugenvil bergerak-gerak memukul-mukul jendela. Ia tidak menyadari kedatangan saya dan saya tidak ingin mengusik kesendirian dan kesunyiannya. Saya membayangkan ia sedang tersihir oleh hubungan gaib antara tanah dan hujan. Tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun, saya balik badan dan pulang. Dalam perjalanan pulang saya menemukan sebuah amplop berisi sepotong senja tergeletak di dekat tiang listrik. Pastilah itu sepotong senja yang dikirim Seno untuk seseorang yang sangat merindukannya. Burung yang diminta untuk mengantarkannya ke tujuan agaknya kemalaman, kemudian menjatuhkannya begitu saja di tengah kemacetan jalan. Saya ambil amplop itu, saya selipkan di saku baju. Sesampai saya di rumah, saku baju saya belepotan oleh cairan berwarna kuning kemerah-merahan. Senja yang luntur. Senja orang-orang Jakarta. “Itu bukan senjaku,” kata Seno yang saat itu ternyata sedang tidak berada di dunia nyata. Saya ceritakan kepada Subagus perihal kedatangan saya ke rumah Sapardi seraya minta tolong lagi dicarikan kesempatan kedua untuk berjumpa dengannya dan Subagus menyanggupi. Tidak lupa saya berpesan, “Cari tahu jam yang paling tepat untuk bertemu beliau ya, Su.” Memperhatikan gaya bicara Subagus yang terkesan kurang serius, diam-diam saya mencium ada sesuatu yang tidak beres. Namun saya tidak mau berprasangka. 

Gelap baru saja datang ketika saya tiba di tempat kediaman Sapardi. Rumahnya kelihatan sepi dan gelap. Saya ketuk-ketuk pintunya dengan sopan. Setelah diketuk-ketuk tiga kali, pintu terbuka. Dari balik pintu muncullah Tuan Sapardi. Tanpa ba-bi-bu ia melepaskan kata-kata: “Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar.” Pintu segera ditutup. Saya terperangah dan terpana, lalu balik badan dan pulang. Dua kali gagal tidak membuat saya menyerah dan kehilangan akal. Tanpa sepengetahuan Subagus, saya mempersiapkan kesempatan ketiga. Untuk usaha ketiga ini, saya akan datang menjumpai Sapardi tanpa janji dan pemberitahuan terlebih dulu. Saya akan memilih sebuah hari yang istimewa. Saya akan menjumpainya dengan cara yang jitu, yang akan membuatnya tidak bisa menghindari saya. Saya siapkan semua buku kumpulan puisi Sapardi yang saya punya untuk saya mintakan tanda tangan penyairnya. Saya siapkan pula sebuah bingkisan sederhana sebagai tanda terima kasih saya karena sajak-sajaknya telah berhasil menjebloskan saya ke dunia kata-kata yang mengacak-acak ruang dan waktu. Saya merasa sudah siap mental untuk menemuinya lagi. Saya tidak tahu apakah dia juga siap mental. 

Dan saat itu pun tiba. Saya datang ke rumahnya malam hari. Saya ketuk-ketuk pintu rumahnya dengan lembut. Setelah saya ketuk-ketuk tiga kali, pintu terbuka. Dari balik pintu muncullah Tuan Sapardi. Saya langsung menembaknya: “Tuan Tuhan, bukan? Tunggu di luar, saya sedang berdoa sebentar.” Ia tertawa tergelak-gelak dengan nada suara yang tak terlukiskan indahnya. Ia mempersilakan saya masuk, lalu membimbing saya menuju halaman belakang di mana terdapat sebuah kolam kecil yang jernih airnya. Kami duduk di tepi kolam. Kami bercermin pada kolam. Melalui air kolam saya dapat melihat dengan jelas sosok penyair hujan itu: di dalam tubuhnya yang tampak ringkih terdapat daya yang lebih. Sapardi mengenakan sarung dan kaos oblong putih bertuliskan “Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi”. Keren sekali. Rupanya dia habis nonton film “Filosofi Kopi”. Dan ia menghidangkan kopi seraya berkata, “Seno dan Subagus juga barusan ngopi-ngopi sini.” Kopi saya terima dengan takzim. Saya dan kopi tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang lebih haus. Kopi dan saya tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang lebih pahit. Saya buka tas gendong saya, saya keluarkan sejumlah buku puisi Sapardi untuk ditandatangani oleh penyairnya. Setelah itu kami berfoto berdua. Sah. Sempurna. Hari itu Sapardi genap berusia 75 tahun. Saya ambil sebuah bingkisan dari dalam tas. Saya ulurkan padanya sebuah botol besar berisi hujan bercampur senja. Ia mengucapkan terima kasih. Ia tempelkan botol itu di telinganya. Ia berbinar-binar mendengarkan suara hujan di dalam botol. Hujan yang hangat dan jingga oleh senja.  

Ia bangkit berdiri. Dikocok-kocoknya botol hujan itu berulang kali. Tutup botol tiba-tiba terlepas dan menyemburlah air berwarna jingga. Menyembur tinggi ke udara. Saya masih mendongak takjub ketika semburan air berwarna jingga sudah lenyap tak berbekas. Sapardi menepuk punggung saya. “Lihat!” katanya sambil jari tangannya menunjuk ke arah kolam. Saya lihat di atas kolam sudah ada sekuntum bunga berwarna jingga. Saya tidak tahu bunga apa namanya. Cahaya bulan memenuhi kolam, membuat bunga jingga itu tampak kian menyala. Kami terdiam beberapa lama. Hening malam membekukan bahasa. Dengan suara pelan dan dalam Sapardi berkata, “Yang fana adalah waktu. Kita abadi.” 
(Sumber: Kompas, 7 Juni 2015)